Ragam dan Perkembangan Wayang

Standard

Secara umum orang menganggap cerita wayang identik dengan cerita Ramayana atau Mahabarata dan cerita-cerita yang berinduk pada kedua cerita itu. Namun, sebenarnya, masih ada cerita-cerita dari sumber lain yang juga dipergelarkan dalam bentuk seni wayang. Di antara cerita wayang yang menonjol selain Ramayana dan Mahabarata, adalah cerita Panji, cerita Menak, dan juga cerita yang bersumber pada babad.

Cerita Panji walaupun sudah ada sejak zaman Demak, baru mulai dikenal luas sejak zaman pe­merintahan Paku Buwana IV (1788-1820). Wayang yang kemudian diciptakan untuk mempergelarkan cerita Panji itu sering disebut Wayang Gedog. Tokoh peraga Wayang Gedog tidak ada yang memakai gelung capit urang seperti Arjuna, Bima, tetapi semua rambutnya diurai di punggung. Latar belakang cerita Panji adalah zaman Jenggala, Kediri dan Ngurawan.

Cerita Menak berdasarkan Serat Menak yang bersumber dari Kitab Qissai Emr Hamza dari kesusasteraan Persia pada zaman pemerintahan Sul­tan Harun Al Rasyid (766 – 809). Di daerah Melayu Riau, kitab itu diterjemahkan dan diberi judul Hikayat Amir Hamzah. Pada Serat Menak, beberapa bagian dari cerita itu pun mengalami penyesuaian dengan alam Indonesia, terutama nama dan gelar tokoh-tokohnya. Misalnya, tokoh cerita yang aslinya bernama Badi’ul Zaman, diubah menjadi Imam Suwangsa; Unekir menjadi Dewi Adaninggar. Pengubahan nama-nama tokoh ini terutama dimaksudkan untuk penyusaian pada pengucapan lidah orang Jawa dan juga kenyamanan telinga yang mendengarnya.

Cerita Babad yang diambil sebagai sumber cerita wayang antara lain adalah Babad Demak, Babad Pajang, hingga Babad Mataram. Dari sumber cerita babad itu terciptalah jenis-jenis wayang barn, antara lain Wayang Kuluk, Wayang Dupara, Wayang Jawa, dll. Namun jenis jenis wayang, yang disponsori pihak keraton, itu akhirnya tidak dapat memasyarakat.

Selain merupakan bentuk pergelaran dan tontonan, sejak dulu wayang juga digemari sebagai suatu karya sastra. Pada zaman Kerajaan Kahuripan, Jenggala, Kediri, dan Majapahit, karya sastra wayang masih terbatas penggemarnya di lingkungan kerabat keraton. Namun, sejak zaman Kerajaan Demak, sastra wayang mulai diperkenalkan pada masyarakat luas di luar tembok keraton. Sesuai dengan jiwa kerakyatan yang dimiliki oleh para wali terutama Sunan Kalijaga, sastra wayang pun sedikit demi sedikit dikenal rakyat. Hal ini sejalan dengan usaha para wali, terutama Sunan Kalijaga yang menggunakan media wayang sebagai sarana dakwah agama Islam.

Sastra wayang yang terkenal dari zaman ke zaman antara lain adalah: Yang berinduk pada Kitab Ma­habarata dan Ramayana, masing-masing karya sastra Wiyasa dan Walmiki, pujanggaIndia, adalah kitab induk cerita wayang. Dari kedua kitab itulah kemudian digubah puluhan karya sastra lainnya oleh para pujangga Indonesia.

Ramayana Jawa Kuna adalah salah satu gubahan tertua (yang diketahui) cerita wayang yang berujud karya sastra. Pengarangnya, menurut Kitab Saridin adalah Empu Pujwa, ditulis di zaman Kerajaan Mamenang (Kediri) Namun, menurut kitab-kitab di Bali, pengarang buku itu adalah Empu Yogiswara, ditulis tahun 1016 Saka, atau 1094 Masehi. Jadi, menurut sumber Bali ini, gubahan itu dikerjakan beratus tahun sebelum zaman Kediri.

Cerita gubahan tua lainnya adalah Mahabarata Jawa Kawi yang ditulis pada zaman pemerintahan Prabu Dharmawangsa Teguh, Kahuripan, tahun 991 – 1016. Penulisnya tidak diketahui.

Empu Prapanca, pada awal abad ke-14 menulis Kunjarakarna Kakawin. Sedangkan Arjuna Wiwaha Jawa Kuna ditulis oleh Empu Kanwa di zaman pemerintahan Prabu Airlangga. Karya sastra lainnya antara lain adalah Kresnayana Kakawin karangan Empu Triguna, Baratayuda karangan Empu Sedah dan Empu Panuluh, Gatotkacasraya karya Empu Panuluh, dan Hariwangsa yang juga karangan Empu Panuluh.

Perkembangan Seni Kriya Wayang

Seperti juga cabang seni lainnya, seni wayang pun selalu berkembang dari tahun ke tahun, sesuai tuntutan zaman, dan sesuai pula dengan perkembangan apresiasi masyarakat terhadap seni wayang.

Bentuk peraga tokoh wayang untuk cerita Mahabarata dan Ramayana, berkembang dari bentuk tokoh cerita Ramayana dan Mahabarta pada relief beberapa candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada awalnya, bentuk tokoh-tokoh wayang itu masih agak realistik. Sesuai dengan perkembangan tingkat apresiasi seni masyarakat, seniman wayang dari waktu ke waktu berhasil menyempurnakan seni kriya wayang yang mencapai puncaknya pada awal abad ke-20 ini.

Pengubahan bentuk tokoh peraga wayang dalam seni kriya Wayang Kulit Purwa, yang mencolok adalah penggambaran Gatotkaca yang dulu berupa raksasa, menjadi ksatria gagah yang mirip dengan Bima. Pengubahan ini terjadi pada masa pemberintahan Sunan Amangkurat III.

Leave a comment