Wayang Gaya Yogya – 1

Standard

Bentuk Wayang Kulit Gaya Yogyakarta

Sejak berdirinya kerajaan Yogyakarta, dalam bidang kebudayaan khususnya yang berkaitan dengan masalah kesenian, yang merupakan bentuk identitas kerajaan maka diciptakan bentuk-bentuk baru sesuai dengan ragam kehidupan dan sikap pimpinan Yogyakarta. Hal ini dibuktikan dengan diciptakannya sebuah tokoh wayang Arjuna Kanjeng Kyai Jayaningrum Oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I (R.M. Soedarsono, 1997: 136). Namun ada suatu kisah, khususnya yang bercorak seni, seperii busana, atau tari Yogyakarta akan melestarikan budaya atau kesenian yang telah ada (Mataram) yang dinilai statis, kemudian Susuhunan akan yasa ingkang enggal yang memberi kesan dinamis ( G.Moedjanto, 1994; 14). Hal ini masih perlu penelitian lebih ianjut.
Berkaitan dengan masalah bentuk wayang kulit Yogyakarta, jika menyimak perkembangan wayang sejak dibuatnya wayang kulit pada Jaman Demak, baru nampak bagus apada jaman Mataram, sehingga dapat diketahui berapa lama waktu yang dibutuhkan hingga wayang kulit tersebut menjadi baik.
Sudah barang tentu dalam wayang kulit Yogyakarta, yang wujudnya sangat baik dan sempuma seperti sekarang ini, tentunya membutuhkan waktu yang tidak sedikit, dengan kata lain tidak dengan serta merta wayang terwujud pada awal berdirinya kerajaan Yogyakarta.
Pada saat Pangeran harya Mangkubumi meninggalkan keraton Mataram di Surakarta, ada beberapa abdi kinasih yang bemama Jayaprana dan anaknya yang bernawa Joka penatas (umur 16 tahun) mengikutinya (Soekanto, 1952: 5-6) Kebetulan kedua Bapak dan anak itu merupakan ahli (dalang?) dalam membuat wayang kulit. Terdapat sumber lain yaitu dalam catatan-catatan dalam Majalah Panjangmas, yang menjelaskan bahwa abdi kinasih Pangeran Harya Mangkubumi yang mengikuti selama berjuang dalam menegakkan kebenaran dan untuk mendapatkan haknya adaiah seorang dalang wayang kulit yang bernama Cermagandha alias dalang kandangwesi dan anaknya yang bernama dalang Paku Waja, kedua tokoh inilah yang kemudian membangun pedalangan (pewayangan?) di Yogyakarta (Sri Mulyono, 1978: 91) Hal ini masih perlu ditelusuri lebih lanjut, hingga mendapat kebenaran sesuai dengan fakta sejarahnya.
Menurut KRT Djajadipura, ketika terjadi pertempuran di daerah Kedu dan Begelen, Jayaprana dan Jaka Penatas bertempat tinggal di desa Danaraja (daerah Wanasaba) menumpang di keluarga seorang yang bernama Ki Atak. Ki Atak salah seorang punduduk Danaraja itu mempunyai anak perempuan bernama Sutiyah, Selama dirumah Ki Atak kebutuhan hidup Jayaprana dan anaknya dicukupi oleh tuan rumah. Setelah peperangan di sekitar bukit Tidar berakhir, Jaka Penatas tidak lagi mengikuti peperangan, tetapi kembali ke Danaraja.
Di tempat ini Jaka Penatas kembali kepada pekerjaan semula yaitu membuat wayang kulit. Oleh karena merasa berhutang budi kepada Ki Atak, maka ia memberikan pelajaran dalam membuat wayang kulit, sebagai cara untuk membalas budi. Ketertarikan Ki Atak terhadap Jaka penatas yang semakin dalam, dan untuk mempererat tali persahabatan diantara mereka, maku Jaka Penatas dikawinkan dengan Sutiyah. Dalam keadaan hamil Sutiyah yang telah menjadi istri Jaka Penatas itu terpaksa ditinggal Jayaprana dan suaminya pergi menyusul Pangeran Haryo Mangkubumi. Tidak berapa lama Sutiyah melahirkan bayi laki-laki yang diberikan nama Bagus Riwong. Bagus Riwong sejak kecil suka sekali membuat wayang kulit, seperti ayah dan kakeknya. Oleh karena itu sejak anak-anak cucu Ki Atak ini di latih membuat wayang oleh sang kakek (Sagio dan Samsugi, 1991: 14).
Setelah berlakunya perjanjian Giyanti, yaitu berdirinya kerajaan Yogyakarta, jayaprana dan Jaka penatas melanjutkan pengabdiannya, dan diberi tugas sebagai abdi dalem untuk membuat wayang kulit di bawah naungan Raja. Dalam suasana yang tenteram dan damai itu, kedua seniman semakin leluasa dalam berkaya seni. Jayaprana membuat wayang yang menggambarkan orang menari (bergerak) yang disebut andhadhap, sedangkan Jaka Penatas membuat wayang yang becirikan penggambaran orang berdiri. Kedua Tokoh pembuat wayang itu dalam melaksanakan tugasnya telah menggukan sunggingan dengan wama gradasi, hanya saja sunggingan Jayaprana dihiasi dengan sungging drenjeman.
Ki Atak mendengar kabar jika anak menantu dan besannya menjadi abdi di kerajaan Yogyakarta, maka Ki Atak bermaksud akan menyusul bersama cucunya dengan membawa hasil karyanya. Wayang kulit karya Ki Atak ini berwujud pendek tetapi tetap gagah, yang dikemudian had dikenal dengan wayang kulit gaya Kedhu. Bagus Riwong juga membawa karya yang berupa wayang kulit dengan gayanya sendiri, yaitu wayang yang sekarang dinamakan wayang prayung (prayungan) yang sekarang lebih dikenal dan berkembang di daerah Banyumas. Bagus Riwong ini menambah sunggingan dengan bentuk sungging bludiran (kembangan).
Setelah dewasa Bagus riwong dikawinkan dengan anak perempuan Dalang Paku di Waja, daerah Kulon Progo, yang bemama Rara Suprih. Pemikahan ini melahirkan seorang anak laki-laki dan perempuan. Anak laki-lakinya diberi nama Grenteng. Setelah dewasa Grenteng memiliki keahlian dhalang dan juga ahli dalam membuat wayang kulit seperti ayah dan leluhumya. Ciri khas karya wayang kulit Grenteng adalah sunggingan yang berbentuk sorot, yang dinamakan dengan sungging tlacapan.
Keempat tokoh yang masih ada pertalian darah itulah yang kemudian membangun bentuk wayang kulit gaya Yogyakarta, karena penemuan dalam sunggingan wayang itu, yang kemudian digabungkan untuk membuat tampilan wayang kulit menjadi sangat sempurna, seperti yang dapat dilihat dalam sunggingan wayang gaya Yogyakarta.

Ciri-ciri wayang kulit gaya Yogyakarta
Ciri khas dalam hasil budaya seperti kesenian wayang kulit, tidak dapat dilihat secara mudah, sehingga untuk melihat kekhususan yang dimiliki hanya terbatas pada gejala-gejala tampilan secara fisik yang tidak setiap orang mampu untuk mengidentifikasi. Kesulitan inilah yang terjadi dalam mengklasifikasi mengenai perbedaan atau keistimewaan dari gaya dalam wayang kulit. Berdasarkan pengamatan dan pencermatan serta perbandingan yang dilakukan terhadap wujud atau bentuk wayang kulit hal tersebut di atas dapat diatasi. Dalam mengenai wayang kulit Gaya Yogyakarta dapat dicermati beberapa hal sebagai berikut.

Pertama. pada dasarnya wayang kulit gaya Yogyakarta menggambarkan wayang (ringgit) bergerak (berjalan, hal ini ditandai dengan tampilan posisi kaki yang meiangkah lebar terutama pada tokoh jangkahan (gagahan). Pada kaki kiri atau kaki belakang digambarkan posisi telapak kakinya miring atau jinjit. Tampilan yang demikian dianggap lebih gagah, ekspresif dan dinamis (Soekasman, 1984: 9). Tokoh putren (wayang wanita) dalan wayang kulit gaya Yogyakarta menggambarkan wayang (ringgit) tancep (berhenti/tidak bergerak), hal ini ditandai dengan adanya wiron nyamping (lipatan-lipatan kain kampuh) yang tetap berada diposisi muka. Bentuk ini ada juga yang menyatakan bahwa tampilan tokoh putren Yogyakarta ini merupakan bentuk stilasi dari posisi tari yang disebut dengan nggrodho.

Kedua, tampilan bentuk tambun, yaitu penggambaran tubuh yang pendek dan kekar (gemuk) yang dinamakan dengan depah. Bagian kepala tampak agak besar, posisi tubuh menghadap ke muka, dengan posisi kaki terbuka lebar. Kaki digambarkan tampak lebih pendek dari seharusnya, hal ini berkaitan dengan fungsi wayang dalam pergelaran wayang, tokoh wayang Yogyakarta pada umumnya ditancapkan dengan posisi agak renggang, jika tokoh tersebut terkena sinar dari lampu blencong, kaki tersebut akan nampak memanjang terlihat dari belakang kelir, sehingga bagian tersebut perbandingannya menjadi proporsional. Proporsi bagian kepala, tubuh, kaki dan tangan yang demikian itu memberikan kesan cebol.

Ketiga. pada umumnya tokoh-tokoh dalam wayang kulit gaya Yogyakarta mempunyai tangan yang sangat panjang hingga menyentuh kaki. Hal ini juga berkait dengan fungsi wayang kulit itu dalam pergelaran wayang. Dalam kegiatan menyembah membutuhkan tangan yang mampu menyentuh hidung tokoh, sehingga dibutuhkan ukuran yang panjang. Hal ini juga merupakan bentuk ukuran bahwa tubuh hingga kaki wayang kulit yogyakarta sebanding ukurannya dengan panjangnya tangan lokoh wayang itu. Perlu diketahui bahwa wayang kulit gaya yogyakarta digambarkan dengan bahu belakang yang panjang (Sunarto, 1989: 36).

Keempat. jika dicermati dari tatahannya, dapat diketahui bahwa hampir semua tatahan untuk tokoh wayang menggunakan unsur tatahan yang dinamakan inten-intenan, terutama pada pecahan uncal kencana, sumping, turido, dan bagian busana lainnya. Namun dan tahahan ini tidak menjadi unsur pokok untuk membedakan, kadang tidak menggunakan unsur tatahan tersebut, terutama jenis wayang pedalangan yang hanya memerlukan kapangan atau cakrik yang baik saja, dengan tatahan yang agal sehingga lebih tahan lama.

Kelima. jika dicermati dari sunggingannya, tokoh wayang kulit gaya Yogyakarta menggunakan sungging tlacapan yang pada masa lampau disebut dengan sungging sorotan, yaitu unsur sungging yang berbentuk segitiga terbalik yang lancip-lancip seperti bentuk tumpal pada motif kain batik. Sungging tlacapan ini difungsikan untuk memberi dekorasi pada bagian sembuliyan yang berukuran besar, seperti pada konca, sedangkan sembuliyan yang berukuran kecil (sembuliyan lamba), disungging dengan menggunakan unsur sungging sawutan, yaitu berbentuk lancip-lancip seperti tlacapan dengan ukuran kecil-kecil. Unsur sungging sangat khas, sehingga tidak ditemukan dalam sunggingan wayang kulit gaya lainnya Pada unsur sungging cinden, wayang kulit gaya Yogyakarta ini ditengarai hanya memakai tiga unsur wama, yaitu merah, hitam dan putih, penggunakan sungging bludiran hanya terbatas pada bagian tertentu saja seperti pada tali praba dan sebagainya. Sungging ulat-ulatan bagi wayang kulit gaya Yogyakarta dengan menggunkan sungging ulat-ulatan templek, yaitu tidak ditatah atau di bludri (seperti grafir pada kulit), dengan wama merah pada muka hitam, yang kadang pada bagian alis dikontur dengan warna emas. Sungging drenjeman hanya menggunkan wama hitam saja (Sunarto, 1989:36).

Keenam, pada bagaian siten-siten atau lemahan, yaitu bagian .iiantara kaki depan dan kaki belakang, umumnya diwarnai dengan merah.

Leave a comment